Kurikulum Berbasis Cinta 2025: Paradigma Humanis, Holistik, dan Transformatif dalam Pendidikan Indonesia

Oleh : Fitria Sndang Susana (Guru Ekonomi)

Abstrak

Artikel ini membahas konsep dan implementasi Kurikulum Berbasis Cinta 2025 sebagai salah satu inovasi pendidikan yang menempatkan cinta sebagai fondasi utama. Kurikulum ini berorientasi pada pengembangan manusia seutuhnya, dengan menyeimbangkan dimensi kognitif, afektif, spiritual, sosial, dan ekologis. Dengan landasan teori pendidikan humanis, holistik, dan spiritual, kurikulum ini diharapkan mampu menjawab tantangan pendidikan abad ke-21. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi literatur terhadap dokumen panduan Kurikulum Berbasis Cinta 2025 serta rujukan teoritis terkait pendidikan berbasis nilai. Hasil kajian menunjukkan bahwa kurikulum ini memiliki prinsip-prinsip humanistik, holistik, reflektif, ekologis, dan transformatif. Implementasi dilakukan melalui pembelajaran bermakna, proyek sosial-ekologis, asesmen holistik, kolaborasi dengan komunitas, dan pemanfaatan teknologi digital. Meskipun menghadapi tantangan berupa resistensi sistem, keterbatasan pemahaman guru, dan kesenjangan fasilitas, Kurikulum Berbasis Cinta 2025 memiliki peluang besar untuk mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia serta melahirkan generasi yang berempati, berkarakter, dan peduli lingkungan.

Kata kunci: kurikulum berbasis cinta, pendidikan humanis, pendidikan holistik, transformasi pendidikan, abad ke-21

Ā 

Pendahuluan

Pendidikan merupakan sarana fundamental dalam membentuk manusia yang berkarakter, cerdas, dan berdaya saing. Namun, praktik pendidikan di Indonesia selama ini masih sering terjebak dalam paradigma kognitivistik yang menekankan pencapaian akademik semata. Akibatnya, dimensi afektif, spiritual, dan sosial peserta didik sering terabaikan (Zubaidah, 2018). Pendidikan yang demikian melahirkan generasi yang unggul secara akademis, tetapi miskin empati, solidaritas, dan kepedulian lingkungan.

Dalam menghadapi krisis global baik krisis moral, kemanusiaan, maupun ekologi diperlukan paradigma pendidikan baru yang lebih humanis dan transformatif. Kurikulum Berbasis Cinta 2025 hadir sebagai jawaban atas kebutuhan ini. Kurikulum ini memandang cinta sebagai dasar pendidikan: cinta kepada Tuhan, diri sendiri, sesama, dan alam semesta. Dengan cinta, proses belajar tidak hanya bertujuan mencetak individu berpengetahuan, tetapi juga membentuk manusia yang penuh kasih sayang, empati, dan peduli pada keberlanjutan hidup.

 

Pembahasan

A. Prinsip Kurikulum Berbasis Cinta 2025

Berdasarkan panduan, terdapat beberapa prinsip utama dalam penerapan kurikulum cinta :

  1. Humanis – Menghargai Martabat Setiap Individu

Prinsip humanis berarti setiap peserta didik dipandang sebagai pribadi yang unik, memiliki potensi, minat, dan kebutuhan berbeda. Pendidikan tidak boleh menyeragamkan anak dengan standar kaku, melainkan memberi ruang untuk pertumbuhan sesuai jati diri. Guru dituntut menjadi fasilitator yang menghargai keberagaman, mendengarkan suara siswa, dan menciptakan suasana kelas yang aman serta inklusif. Dengan begitu, siswa merasa dihargai, berharga, dan termotivasi untuk berkembang.

  1. Holistik – Menyeimbangkan Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotor

Pendidikan sering kali hanya menekankan aspek kognitif (pengetahuan), sementara dimensi afektif (sikap, emosi, nilai) dan psikomotor (keterampilan) terabaikan. Kurikulum berbasis cinta hadir untuk mengembalikan keseimbangan itu.

  • Kognitif: siswa memahami konsep dan pengetahuan.
  • Afektif: siswa belajar mengasah empati, kerjasama, dan tanggung jawab.
  • Psikomotor: siswa menguasai keterampilan praktis yang bisa digunakan dalam kehidupan nyata.

Dengan pendekatan holistik, hasil pendidikan bukan hanya anak yang pintar secara akademis, tetapi juga matang secara emosi dan terampil secara praktis.

  1. Reflektif – Mendorong Siswa Melakukan Perenungan dan Evaluasi Diri

Belajar bukan hanya tentang apa yang diketahui, tetapi juga tentang apa yang dipahami dan dihayati. Prinsip reflektif menekankan pentingnya siswa diajak merenungkan pengalaman belajarnya: apa yang sudah dipelajari, bagaimana perasaan mereka, dan apa makna yang bisa diambil. Guru dapat mengajak siswa menulis jurnal refleksi, berdiskusi nilai moral dari suatu peristiwa, atau melakukan evaluasi diri. Dengan begitu, pembelajaran menjadi sarana membentuk kesadaran diri dan kedewasaan.

  1. Ekologis – Menumbuhkan Kesadaran Menjaga Bumi

Di tengah krisis iklim dan kerusakan lingkungan, pendidikan tidak bisa netral. Prinsip ekologis menekankan bahwa madrasah harus menanamkan cinta pada alam. Siswa diajak memahami keterkaitan manusia dengan lingkungan, serta membangun perilaku ramah lingkungan dalam keseharian. Contohnya: proyek penghijauan, pengelolaan sampah, hemat energi, atau belajar sains melalui konservasi alam. Dengan demikian, siswa tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga menjadi generasi yang peduli dan bertanggung jawab menjaga bumi.

  1. Transformatif – Mengubah Orientasi Belajar dari Sekadar Nilai Menuju Makna Hidup

Prinsip transformatif mengajak madrasah untuk tidak menjadikan nilai ujian sebagai tujuan akhir pendidikan. Sebaliknya, pendidikan diarahkan pada pembentukan makna hidup: bagaimana ilmu membantu siswa memahami diri, berkontribusi untuk sesama, dan menjaga keseimbangan hidup. Misalnya, belajar ekonomi bukan sekadar menghitung inflasi, tetapi juga memahami bagaimana kebijakan ekonomi berdampak pada kehidupan masyarakat kecil. Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya ā€œtahuā€, tetapi juga ā€œmengerti dan peduli.

 

B. Tujuan Pendidikan Berbasis Cinta

    1. Berkarakter Penuh Kasih dan Empati

Kurikulum ini ingin membentuk peserta didik yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berhati lembut, mampu memahami perasaan orang lain, dan peduli pada sesama. Empati membuat siswa tidak acuh terhadap penderitaan orang lain, misalnya dengan membantu teman yang kesulitan belajar, ikut aksi sosial, atau peduli terhadap masyarakat sekitar. Kasih sayang juga ditanamkan agar hubungan antarindividu di madrasah terjalin harmonis, tanpa diskriminasi dan perundungan.

  1. Memiliki Kecerdasan Intelektual sekaligus Emosional

Tujuan pendidikan tidak berhenti pada penguasaan ilmu pengetahuan, melainkan juga pada pengendalian diri, ketangguhan mental, dan kecerdasan emosi. Siswa didorong untuk berpikir kritis, logis, dan analitis dalam menyelesaikan masalah (kecerdasan intelektual), sekaligus mampu mengelola emosi, bersikap sabar, dan menjaga hubungan baik dengan orang lain (kecerdasan emosional). Keseimbangan keduanya menjadikan siswa tidak hanya pintar, tetapi juga bijaksana dalam mengambil keputusan.

  1. Mampu Berkolaborasi dalam Keberagaman.

Kurikulum berbasis cinta menekankan pentingnya kerjasama dalam perbedaan. Peserta didik dilatih bekerja dalam tim yang heterogen, baik dalam hal minat, kemampuan, agama, budaya, maupun latar belakang sosial. Dengan pengalaman ini, mereka belajar menghargai perbedaan, mengembangkan toleransi, dan menciptakan harmoni dalam kebersamaan. Kolaborasi dalam keberagaman akan melahirkan generasi yang siap menghadapi realitas masyarakat global yang majemuk.

  1. Memiliki Kesadaran Spiritual dan Integritas Moral

Kurikulum ini juga menempatkan spiritualitas sebagai pondasi. Artinya, pendidikan tidak hanya mencetak siswa yang cerdas, tetapi juga yang sadar akan hubungan dengan Tuhan, berakhlak mulia, dan berpegang pada nilai kebenaran. Integritas moral berarti siswa dibimbing untuk jujur, adil, bertanggung jawab, dan konsisten dalam prinsip hidupnya. Dengan kesadaran spiritual dan moral yang kuat, siswa mampu menghadapi godaan zaman digital yang penuh tantangan tanpa kehilangan jati diri.

  1. Peduli terhadap Lingkungan dan Keberlanjutan.

Krisis lingkungan adalah salah satu tantangan terbesar abad ini. Kurikulum berbasis cinta bertujuan membentuk peserta didik yang memiliki kepedulian ekologis, sadar bahwa bumi adalah rumah bersama yang harus dijaga. Melalui kegiatan sederhana seperti mengurangi sampah plastik, menanam pohon, atau hemat energi, siswa dilatih menjadi agen perubahan yang berpikir keberlanjutan (sustainable). Dengan begitu, mereka tumbuh menjadi generasi yang menjaga keseimbangan hidup manusia dan alam.

 

C. Strategi Implementasi

  1. Pembelajaran Bermakna dan Menyenangkan

Pembelajaran bukan hanya soal menghafal materi, melainkan pengalaman yang menyentuh hati dan pikiran siswa. Guru diharapkan mampu mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, sehingga siswa merasa apa yang mereka pelajari bermanfaat. Misalnya, dalam pelajaran ekonomi, siswa tidak hanya belajar teori inflasi, tetapi juga melakukan survei harga di pasar sekitar untuk merasakan dampaknya secara langsung. Selain itu, suasana kelas dibuat menyenangkan, penuh interaksi, dan bebas dari tekanan berlebihan. Dengan cara ini, siswa belajar dengan antusias, bukan karena paksaan.

  1. Proyek Humanis-Ekologis

Kurikulum berbasis cinta menekankan aksi nyata. Peserta didik tidak hanya duduk mendengarkan teori, tetapi juga melakukan proyek yang relevan dengan nilai kemanusiaan dan kepedulian lingkungan. Contoh penerapan:

  • Program penghijauan: menanam pohon di lingkungan madrasah atau desa.
  • Bakti sosial: membantu masyarakat kurang mampu atau korban bencana.
  • Kampanye anti-bullying: membuat poster, video, atau kegiatan yang menumbuhkan budaya saling menghargai.

Proyek-proyek ini menumbuhkan kepekaan sosial dan kepedulian ekologis, sekaligus melatih keterampilan kerjasama, komunikasi, dan kepemimpinan siswa.

  1. Asesmen Holistik

Penilaian dalam kurikulum ini tidak hanya mengukur kemampuan kognitif melalui ujian tertulis. Guru juga memperhatikan aspek sikap, nilai, dan keterampilan sosial siswa. Misalnya:

  • Bagaimana siswa bekerja sama dalam kelompok.
  • Seberapa besar empati mereka saat ada teman yang kesulitan.
  • Kontribusi nyata siswa dalam proyek madrasah atau kegiatan masyarakat.

Dengan asesmen holistik, siswa yang mungkin kurang menonjol dalam ujian akademik tetap bisa dihargai atas kelebihan lain, sehingga setiap anak merasa diakui potensinya.

  1. Kolaborasi dengan Komunitas

Madrasah bukan satu-satunya tempat pendidikan, melainkan bagian dari ekosistem yang lebih luas. Karena itu, kurikulum berbasis cinta menekankan pentingnya kolaborasi dengan orang tua, masyarakat, dan lembaga sosial. Misalnya:

  • Orang tua diajak terlibat dalam program parenting untuk mendukung pembentukan karakter anak.
  • madrasah bekerjasama dengan komunitas lokal dalam kegiatan sosial atau pelestarian lingkungan.
  • Lembaga sosial menjadi mitra dalam proyek kemanusiaan siswa.
  • Dengan kolaborasi ini, pendidikan menjadi lebih hidup, kontekstual, dan didukung banyak pihak.
  1. Pemanafaatan Teknologi Digital

Di era digital, teknologi menjadi jembatan penting dalam pembelajaran. Kurikulum berbasis cinta menggunakan teknologi bukan hanya sebagai alat mengajar, tetapi juga sarana membangun jejaring kasih sayang dan kolaborasi. Misalnya:

  • Platform daring digunakan untuk diskusi reflektif antar siswa.
  • Media sosial madrasah dipakai untuk menyebarkan pesan positif seperti kampanye cinta lingkungan.
  • Aplikasi kolaborasi (Google Classroom, Padlet, Canva, dsb.) dimanfaatkan untuk membuat proyek kreatif bersama.

Dengan teknologi, siswa tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga aktif mencipta dan berbagi nilai positif.

 

D. Studi Kasus Potensial di Madrasah

  1. Konsep Program

Program Madrasah Cinta Lingkungan dirancang untuk menanamkan nilai cinta terhadap alam sekaligus mengasah kreativitas siswa. Ide dasarnya adalah bagaimana siswa bisa mengubah sampah plastik, yang biasanya dianggap limbah tak berguna, menjadi produk baru yang bernilai guna maupun bernilai jual. Hal ini selaras dengan prinsip kurikulum berbasis cinta: ekologis (peduli bumi), transformatif (mengubah masalah menjadi peluang), dan humanis (membangun kerja sama antarsiswa).

  1. Bentuk Kegiatan

Dalam implementasinya, program ini bisa dilakukan dalam beberapa tahap:

  • Edukasi Lingkungan. Guru bersama komunitas peduli lingkungan memberikan wawasan tentang bahaya sampah plastik dan pentingnya daur ulang.
  • Pengumpulan Sampah Plastik. Siswa diajak mengumpulkan botol, gelas plastik, kantong kresek, dan limbah plastik lain dari rumah maupun lingkungan madrasah.
  • Workshop Daur Ulang. Di bawah bimbingan guru dan instruktur, siswa belajar mengolah sampah plastik menjadi produk kreatif, seperti:Ā Pot bunga dari botol bekas,Ā Tas atau dompet dari plastik kemasan,Ā Hiasan dinding dan kerajinan seni,Ā Produk sederhana bernilai jual seperti tempat pensil atau vas bunga.
  • Pameran dan Penjualan Produk. Hasil karya siswa dipamerkan dalam Expo Madrasah Cinta Lingkungan. Sebagian produk dijual, dan keuntungan bisa digunakan untuk kegiatan sosial, sehingga melatih jiwa kewirausahaan sekaligus kepedulian sosial.
  1. Nilai yang Ditumbuhkan

Melalui program ini, ada sejumlah nilai yang ditanamkan kepada siswa:

  • Kreativitas dan Inovasi: siswa belajar mengubah limbah menjadi barang berguna.
  • Kepedulian Ekologis: siswa sadar bahwa menjaga bumi bisa dimulai dari hal kecil.
  • Semangat Kolaborasi: proyek dilakukan secara berkelompok, sehingga siswa berlatih kerjasama, komunikasi, dan saling menghargai peran.
  • Tanggung Jawab Sosial: dengan menjual produk untuk kegiatan amal, siswa belajar berbagi manfaat kepada orang lain.
  • Pembelajaran Bermakna: siswa melihat langsung kaitan antara teori (misalnya dalam pelajaran biologi tentang ekosistem, atau ekonomi tentang produksi dan konsumsi) dengan praktik nyata di kehidupan.
  1. Dampak Jangka Panjang

Program Madrasah Cinta Lingkungan tidak hanya berdampak pada siswa, tetapi juga pada ekosistem madrasah dan masyarakat sekitar. madrasah menjadi lebih bersih dan hijau, siswa terbiasa dengan gaya hidup ramah lingkungan, dan masyarakat sekitar terinspirasi untuk ikut memilah sampah. Bahkan, kegiatan ini bisa menjadi ikon unggulan MAN 2 Bantul dalam mendukung pendidikan berbasis cinta sekaligus program Green School.

 

E. Tantangan dan Peluang

Tantangan

  1. Orientasi Pendidikan Nasional yang Masih Menekankan Ujian

Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan Indonesia terbiasa berfokus pada capaian akademik dan nilai ujian. Hal ini membuat madrasah, guru, dan siswa sering terjebak pada target angka semata. Padahal, kurikulum berbasis cinta menekankan pembelajaran bermakna, karakter, dan empati yang sulit diukur dengan ujian tertulis. Perubahan paradigma ini tidak mudah, karena memerlukan keberanian untuk mengurangi dominasi tes dan memberi ruang bagi penilaian holistik.

  1. Keterbatasan Pemahaman Guru tentang Pendekatan Humanis-Holistik

Banyak guru masih terbiasa dengan pola pengajaran tradisional: ceramah, hafalan, dan penekanan pada hasil ujian. Untuk mengimplementasikan kurikulum berbasis cinta, guru dituntut menjadi fasilitator, pembimbing, bahkan inspirator bagi siswa. Hal ini membutuhkan pelatihan, refleksi, dan perubahan mindset. Jika guru tidak memahami konsep humanis-holistik, maka kurikulum ini bisa berhenti di atas kertas saja tanpa memberi dampak nyata.

  1. Kesenjangan Fasilitas antara Madrasah Perkotaan dan Pedesaan

Tidak semua madrasah memiliki sarana yang sama. Madrasah di kota besar mungkin lebih mudah mengakses teknologi, pelatihan guru, atau kerjasama dengan komunitas. Sebaliknya, madrasah di pedesaan seringkali menghadapi keterbatasan fasilitas, tenaga pendidik, dan akses teknologi. Akibatnya, implementasi kurikulum berbasis cinta bisa berjalan timpang jika tidak ada strategi pemerataan.

Peluang

  1. Kebijakan Merdeka Belajar yang Memberi Ruang Fleksibilitas

Kurikulum Merdeka yang sedang diterapkan pemerintah memberi kesempatan bagi madrasah untuk berinovasi sesuai kebutuhan peserta didik. Fleksibilitas ini sejalan dengan prinsip kurikulum berbasis cinta, yang menekankan kebebasan dan kebermaknaan dalam belajar. Dengan kebijakan ini, madrasah lebih leluasa mengembangkan proyek humanis-ekologis, asesmen holistik, maupun kolaborasi komunitas.

  1. Kesadaran Global tentang Pentingnya Pendidikan Karakter

Di tengah berbagai krisis moral, intoleransi, dan degradasi sosial, dunia internasional semakin menekankan pentingnya pendidikan karakter. UNESCO, misalnya, mendorong pendidikan yang menumbuhkan life skills, empati, dan nilai kemanusiaan. Hal ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat Kurikulum Berbasis Cinta sebagai bagian dari upaya global membentuk generasi berkarakter dan berakhlak mulia.

  1. Dukungan Teknologi Digital yang Semakin Luas

Era digital menyediakan banyak peluang untuk memperkuat implementasi kurikulum. Teknologi dapat menjadi sarana pembelajaran reflektif, kolaboratif, sekaligus menyenangkan. Platform daring bisa dipakai untuk projek sosial-ekologis lintas madrasah, media sosial bisa menjadi ruang kampanye positif siswa, dan aplikasi digital bisa mempermudah asesmen non-kognitif. Jika dimanfaatkan dengan baik, teknologi justru menjadi mitra penting dalam menumbuhkan cinta, empati, dan kepedulian sosial.

 

Kesimpulan

Kurikulum Berbasis Cinta 2025 merupakan paradigma baru pendidikan Indonesia yang menempatkan cinta sebagai inti. Kurikulum ini menekankan pendidikan humanis, holistik, reflektif, ekologis, dan transformatif. Implementasinya melalui pembelajaran bermakna, proyek humanis-ekologis, asesmen holistik, kolaborasi komunitas, dan pemanfaatan teknologi digital.

Meskipun menghadapi tantangan berupa resistensi sistem dan keterbatasan guru, kurikulum ini menawarkan peluang besar untuk membentuk generasi penuh kasih, berempati, dan peduli lingkungan. Dengan dukungan semua pihak—pemerintah, madrasah, guru, orang tua, dan masyarakat—Kurikulum Berbasis Cinta 2025 dapat menjadi tonggak transformasi pendidikan menuju peradaban yang damai, adil, dan berkelanjutan.

 

Daftar Pustaka

Keputusan Direktur Jenderal PendidikanĀ  Islam Ā NomorĀ  6077Ā  Tahun 2025 Ā Tentang Panduan Kurikulum Berbasis Cinta

Share ke sosial media
Tags:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by
Scroll to Top